Seperti sebuah gigi yang direndam Coca-Cola.
Bukit koral, lobster dan para penghuni laut lain yang memiliki cangkang
seperti kulit kerang akan segera keropos, akibat meningkatnya tingkat
keasaman karena perubahan iklim.
Gas karbondioksida (CO2) yang ditebarkan ke atmosfer
oleh pabrik-pabrik, kendaraan dan pembangkit listrik tidak hanya
meningkatkan suhu udara. Tetapi juga menyebabkan apa yang para ilmuwan
sebut dengan istilah "pengasaman laut" karena sekitar 25% dari
kelebihan CO2 yang tersebar itu terserap laut.
Juga dikhawatirkan kemungkinan akan segera terjadi
ancaman kepunahan organisme-organisme laut berbadan keras, seperti bukit
koral yang telah berjuang untuk bertahan hidup seiring dengan
meningkatnya suhu air, demikian dikatakan para ilmuwan kelautan yang
berkumpul pada sebuah konferensi bukit koral di Fort Lauderdale,
Florida.
"Batas ambang waktu untuk bertahan bagi
bukit koral mungkin hanya hingga pertengahan abad ini saja, yaitu ketika
mereka sudah tidak lagi dapat memproduksi dirinya sendiri, maka mereka
akan segera punah," kata Chris Langson selaku guru besar tamu di
Universitas Rosentiel Scool of Marine and Atmospheric Science di Miami.
"Kepunahan itu tidak akan segera terjadi. Mereka tidak akan punah tahun ini. Mungkin 50 atau 100 tahun lagi."
Baru
saat ini para ilmuwan menyadari ternyata pemanasan global dapat
menurunkan nilai pH air laut dari samudera karena adanya reaksi kimia
antara air dengan CO2. Di mana derajat pH diukur berdasarkan tingkat
kebasaan (basa pH di atas 7) atau keasaman (asam pH di bawah 7) di mana
pH7 berarti netral (tidak bersifat basa atau asam).
Nilai
pH dari air laut sekitar 8,2 (bersifat basa) selama ratusan ribu tahun
lamanya, tetapi sejak dimulainya era industri pada tahun 1800 telah
mengalami penurunan sebesar 0,1.
Angka yang
ditunjukkan Proyek Perubahan Iklim Badan Pengawas PBB antar negara
mengindikasikan akan menurun hingga angka 7,8 pada akhir abad ini dan
beberapa ilmuwan bahkan mengkhawatirkan angka penurunannya mungkin dapat
lebih drastis lagi.
Suatu hasil studi terbaru
menyatakan bahwa CO2 di alam yang larut dalam perairan Italia sangat
membahayakan terutama bagi organisme-organisme yang berkapur seperti
bukit koral yang tidak dapat bertahan dalam kondisi pH di bawah 7,6,
kata Maoz Fine dari Interuniversity Institute untuk ilmu kelautan.
"Itu seperti merendam sebuah gigi kedalam segelas Coca-cola," kata Fine kepada para wartawan pada konferensi di Fort Lauderdale.
Bila
nilai pH air laut turun menjadi 7,6 akibat larutnya CO2 tersebut, maka
itu adalah "Secara total dapat melenyapkan organisme-organisme yang
berkapur," katanya. "Itu sebenarnya sungguh dramatis dan sangat jelas
sekali. Anda tidak membutuhkan seorang ahli untuk menelitinya."
Bukit
batu koral yang keras akan menjadi seperti binatang laut yang lunak
karena tulang kerangkanya akan hancur di dalam larutan asam, katanya.
Sepotong
batu koral percobaan tanpa tulang kerangka dapat bertahan hidup sampai
dua tahun bila diletakkan sendiri dengan kondisi yang sesuai dalam
laboratoriun, kata Fine. Tetapi di habitat aslinya akan mudah menjadi
santapan pemangsa, seperti ikan parrot, dan meningkatnya kerusakan
akibat badai. Seluruh bukit koral pada akhirnya akan runtuh karena
kehilangan penopangnya.
Dampak yang berbahaya dari
pengasaman samudera terhadap bukit batu koral tidak secepat yang
disebabkan oleh bahaya pencemaran warna air, yang terjadi karena kondisi
lingkungan yang berubah buruk, seperti peningkatan suhu, putusnya
hubungan saling ketergantungan antara binatang laut bukit koral dan
ganggang sel tunggal yang mana dapat segera menyebabkan terjadinya
pencemaran warna.
Tetapi ini seperti cobaan yang
sangat berat bagi bukit koral untuk beradaptasi, dan akan berpengaruh
pada seluruh bukit koral yang ada di planet bumi ini. Peneliti Simon
Donner dari Universias British Columbia mengatakan sudah sangat
terlambat bagi dunia untuk menghindari perubahan iklim.
Apa
yang harus dilakukan oleh para peneliti bukit koral adalah
mengembangkan suatu cara untuk menyelamatkan bukit koral agar dapat
beradaptasi terhadap perubahan lingkungan sehingga dapat mempertahankan
keberadaannya 40 sampai 60 tahun lagi, hingga efek dari usaha menurunkan
polusi industri mulai berpengaruh.
"Iklaim ini
ibaratnya seperti kapal yang besar. Dalam kasus kita, sebuah kapal besar
Tetanic akan menabrak gunung es. Hampir mustahil bagi kita agar Titanic
tidak menabrak gunung es itu," kata Donner.
"Apa
yang perlu kita lakukan adalah berupaya sepenuhnya untuk melakukan
apa saja yang dapat memperlambat laju kapal kita sangat berharap semoga
bukit koral itu dapat diselamatkan kita dengan sedikit menggeserkan
gunung es itu." (Epochtimes)
dikutip dari : erabaru.net
0 komentar:
Posting Komentar